saga

.

Selasa, 28 Mei 2013

ilmu dan budaya

Filsafat Ilmu, Ilmu Pengetahuan dan Budaya Ilmu (science) termasuk pengetahuan (knowledge). Yang dimaksud dengan ilmu ialah pengetahuan yang diperoleh dengan cara tertentu yang dinamakan metode ilmiah. Bidang yang ditelaah oleh ilmu itu tidak terbatas kepada obyek atau kejadian yang bersifat empiris. Artinya, obyek atau kejadian tersebut dapat ditangkap oleh panca indera manusia atau alat-alat pembantu panca indera. Bidang-bidang di luar jangkauan pengalaman manusia tidak termasuk dunia empiris, contohnya masalah tentang Tuhan, akhirat, surga dan neraka, dan sebagainya. Dengan demikian terkandung makna bahwa bidang ilmu itu terbatas (Tjokronegoro dan Sudarsono, 1999). Pengertian pengetahuan lebih luas daripada ilmu. Pengetahuan adalah produk pemikiran. Berpikir merupakan suatu proses yang mengikuti jalan tertentu dan akhirnya menuju kepada suatu kesimpulan dan membuahkan suatu pendapat atau pengetahuan. Dengan menerapkan pengetahuan, manusia dapat meringankan kerja dan beban penderitaannya sehingga kesejahteraan data lebih baik (Tjokronegoro dan Sudarsono, 1999). Ilmu pengetahuan adalah suatu pengertian yang dinamis dan oleh karena itu sulit untuk didefinisikan. Hal definisi ini bergantung kepada lingkungan tempat manusia itu berada dan sejarahnya yang lampau (Tjokronegoro dan Sudarsono, 1999). Menurut Leonard Nash (dalam The Nature of Natural Sciences, 1963 cit. Soemitro, 1990), ilmu pengetahuan adalah suatu institusi sosial (social institution) dan juga merupakan prestasi perseorangan (individual achievement). Jacob (1993) memaparkan bahwa ilmu pengetahuan adalah suatu institusi kebudayaan, suatu kegiatan manusia untuk mengetahui tentang diri sendiri dan alam sekitarnya dengan tujuan untuk mengenal manusia sendiri, perubahan-perubahan yang dialami dan cara mencegahnya, mendorong atau mengarahkannya, serta mengenal lingkungan yang dekat dan jauh darinya, perubahan-perubahan lingkungan dan variasinya, untuk memanfaatkan, menghindari dan mengendalikannya. Istilah teknologi berasal dari perkataan Yunani technologia yang artinya pembahasan sistematik tentang seluruh seni dan kerajinan. Teknologi yaitu usaha manusia dalam mempergunakan segala bantuan fisik atau jasa-jasa yang dapat memperbesar produktivitas manusia melalui pemahaman yang lebih baik, adaptasi dan kontrol, terhadap lingkungannya. Teknologi merupakan penerapan. Oleh karena itu, teknologi berbeda dalam dimensi ruang dan waktu Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di satu sisi memang berdampak positif, yakni dapat memperbaiki kualitas hidup manusia. Berbagai sarana modern industri, komunikasi, dan transportasi, misalnya, terbukti amat bermanfaat. Dahulu Ratu Isabella (Italia) di abad XVI perlu waktu 5 bulan dengan sarana komunikasi tradisional untuk memperoleh kabar penemuan benua Amerika oleh Columbus. Tapi di sisi lain, tidak jarang iptek berdampak negatif karena merugikan dan membahayakan kehidupan dan martabat manusia. Bom atom telah menewaskan ratusan ribu manusia di Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945. Lingkungan hidup seperti laut, atmosfer udara, dan hutan juga tak sedikit mengalami kerusakan dan pencemaran yang sangat parah dan berbahaya. Beberapa varian tanaman pangan hasil rekayasa genetika juga diindikasikan berbahaya bagi kesehatan manusia. Tak sedikit yang memanfaatkan teknologi internet sebagai sarana untuk melakukan kejahatan dunia maya (cyber crime) dan untuk mengakses pornografi, kekerasan, dan perjudian (Ahmed, 1999) Di sinilah, peran agama sebagai pedoman hidup menjadi sangat penting untuk ditengok kembali. Dapatkah agama memberi tuntunan agar kita memperoleh dampak iptek yang positif saja, seraya mengeliminasi dampak negatifnya semiminal mungkin (Ahmed, 1999). Pola hubungan pertama adalah pola hubungan yang negatif, saling tolak. Apa yang dianggap benar oleh agama dianggap tidak benar oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Demikian pula sebaliknya. Dalam pola hubungan seperti ini, pengembangan iptek akan menjauhkan orang dari keyakinan akan kebenaran agama dan pendalaman agama dapat menjauhkan orang dari keyakinan akan kebenaran ilmu pengetahuan. Orang yang ingin menekuni ajaran agama akan cenderung untuk menjauhi ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan oleh manusia. Pola hubungan pertama ini pernah terjadi di zaman Galileio-Galilei. Ketika Galileo berpendapat bahwa bumi mengitari matahari sedangkan gereja berpendapat bahwa matahari lah yang mengitari bumi, maka Galileo dipersalahkan dan dikalahkan. Ia dihukum karena dianggap menyesatkan masyarakat (Furchan, 2009). Pola hubungan ke dua adalah perkembangan dari pola hubungan pertama. Ketika kebenaran iptek yang bertentangan dengan kebenaran agama makin tidak dapat disangkal sementara keyakinan akan kebenaran agama masih kuat di hati, jalan satu-satunya adalah menerima kebenaran keduanya dengan anggapan bahwa masing-masing mempunyai wilayah kebenaran yang berbeda. Kebenaran agama dipisahkan sama sekali dari kebenaran ilmu pengetahuan. Konflik antara agama dan ilmu, apabila terjadi, akan diselesaikan dengan menganggapnya berada pada wilayah yang berbeda. Dalam pola hubungan seperti ini, pengembangan iptek tidak dikaitkan dengan penghayatan dan pengamalan agama seseorang karena keduanya berada pada wilayah yang berbeda. Baik secara individu maupun komunal, pengembangan yang satu tidak mempengaruhi pengembangan yang lain. Pola hubungan seperti ini dapat terjadi dalam masyarakat sekuler yang sudah terbiasa untuk memisahkan urusan agama dari urusan negara/masyarakat (Furchan, 2009). Pola ke tiga adalah pola hubungan netral. Dalam pola hubungan ini, kebenaran ajaran agama tidak bertentangan dengan kebenaran ilmu pengetahuan tetapi juga tidak saling mempengaruhi. Kendati ajaran agama tidak bertentangan dengan iptek, ajaran agama tidak dikaitkan dengan iptek sama sekali. Dalam masyarakat di mana pola hubungan seperti ini terjadi, penghayatan agama tidak mendorong orang untuk mengembangkan iptek dan pengembangan iptek tidak mendorong orang untuk mendalami dan menghayati ajaran agama. Keadaan seperti ini dapat terjadi dalam masyarakat sekuler. Karena masyarakatnya sudah terbiasa dengan pemisahan agama dan negara/masyarakat, maka. ketika agama bersinggungan dengan ilmu, persinggungan itu tidak banyak mempunyai dampak karena tampak terasa aneh apabila dikaitkan (Furchan, 2009). Pola hubungan yang ke empat adalah pola hubungan yang positif. Terjadinya pola hubungan seperti ini mensyaratkan tidak adanya pertentangan antara ajaran agama dan ilmu pengetahuan serta kehidupan masyarakat yang tidak sekuler. Secara teori, pola hubungan ini dapat terjadi dalam tiga wujud: ajaran agama mendukung pengembangan iptek tapi pengembangan iptek tidak mendukung ajaran agama, pengembangan iptek mendukung ajaran agama tapi ajaran agama tidak mendukung pengembangan iptek, dan ajaran agama mendukung pengembangan iptek dan demikian pula sebaliknya (Furchan, 2009). GBHN 1993-1998 menyatakan tentang kaitan pengembangan iptek dan agama, bahwa pola hubungan yang diharapkan adalah pola hubungan ke tiga, pola hubungan netral. Ajaran agama dan iptek tidak bertentangan satu sama lain tetapi tidak saling mempengaruhi. Pada Bab II, G. 3. GBHN 1993-1998, yang telah dikutip di muka, dinyatakan bahwa pengembangan iptek hendaknya mengindahkan nilai-nilai agama dan budaya bangsa. Artinya, pengembangan iptek tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai agama dan budaya bangsa. Tidak boleh bertentangan tidak berarti harus mendukung. Kesan hubungan netral antara agama dan iptek ini juga muncul apabila kita membaca GBHN dalam bidang pembangunan Agama dan Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tak ada satu kalimat pun dalam pernyataan itu yang secara eksplisit menjelaskan bagaimana kaitan agama dengan iptek. Pengembangan agama tidak ada hubungannya dengan pengembangan iptek (Furchan, 2009). Akan tetapi, kalau kita baca GBHN itu secara implisit dalam kaitan antara pembangunan bidang agama dan bidang iptek, maka kita akan memperoleh kesan yang berbeda. Salah satu asas pembangunan nasional adalah Asas Keimanan dan Ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang berarti “… bahwa segala usaha dan kegiatan pembangunan nasional dijiwai, digerakkan, dan dikendalikan oleh keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai nilai luhur yang menjadi landasan spiritual, moral,dan etik dalam rangka pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila” (Bab II, C. 1.) (Furchan, 2009). Di bagian lain dinyatakan bahwa pembangunan bidang agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa diarahkan, antara lain, untuk memperkuat landasan spiritual, moral, dan etik bagi pembangunan nasional. Dari sini dapat disimpulkan bahwa, secara implisit, bangsa Indonesia menghendaki agar agama dapat berperan sebagai jiwa, penggerak, dan pengendali ataupun sebagai landasan spiritual, moral, dan etik bagi pembangunan nasional, termasuk pembangunan bidang iptek tentunya. Dalam kaitannya dengan pengembangan iptek nasional, agama diharapkan dapat menjiwai, menggerakkan, dan mengendalikan pengembangan iptek nasional tersebut (Furchan, 2009). Hubungan Agama dan Pengembangan Iptek Dewasa Ini Pola hubungan antara agama dan iptek di Indonesia saat ini baru pada taraf tidak saling mengganggu. Pengembangan agama diharapkan tidak menghambat pengembangan iptek sedang pengembangan iptek diharapkan tidak mengganggu pengembangan kehidupan beragama. Konflik yang timbul antara keduanya diselesaikan dengan kebijaksanaan (Furchan, 2009). Dewasa ini iptek menempati posisi yang amat penting dalam pembangunan nasional jangka panjang ke dua di Indonesia ini. Penguasaan iptek bahkan dikaitkan dengan keberhasilan pembangunan nasional. Namun, bangsa Indonesia juga menyadari bahwa pengembangan iptek, di samping membawa dampak positif, juga dapat membawa dampak negatif bagi nilai agama dan budaya yang sudah dimiliki oleh bangsa Indonesia. Sebagai bangsa yang telah memilih untuk tidak menganut faham sekuler, agama mempunyai kedudukan yang penting juga dalam masyarakat Indonesia. Oleh karena itulah diharapkan agar pengembangan iptek di Indonesia tidak akan bertabrakan dengan nilai-nilai agama dan budaya luhur bangsa (Furchan, 2009). Kendati pola hubungan yang diharapkan terjadi antara agama dan iptek secara eksplisit adalah pola hubungan netral yang saling tidak mengganggu, secara implisit diharapkan bahwa pengembangan iptek itu dijiwai, digerakkan, dan dikendalikan oleh nilai-nilai agama. Ini merupakan tugas yang tidak mudah karena, untuk itu, kita harus menguasai prinsip dan pola pikir keduanya (iptek dan agama) (Furchan, 2009). Tulisan ini saya jadikan referensi dari sumber KLIK yang saya jadikan slide presentasi mata kuliah Filsafat Ilmu dan Logika. Untuk menDOWNLOAD paper presentasinya dapat di unduh di sini Hermawan Prabowo ~Yang MudA Yang LuAr BiAsA~ Berikut tampilan slide-slide presentasi Hubungan antara Filsafat, IPTEK dan Budaya. Selamat membaca... Untuk Hubungan antara nilai etis dan etika ilmiah dari masyarakat dapat di unduh di sini Hermawan Prabowo ~Yang Muda Yang LuAr BiAsA~. Berikut tampilan slide-slide presentasi Hubungan antara nilai etis dan etika ilmiah dari masyarakat. Selamat membaca... Sekian tulisan ini saya buat. Kekurangan hanya milik penulis, oleh sebab itu masukan dari berbagai pihak sangat penulis harapkan untuk menyempurnakan tulisan ini. Terima kasih atas perhatiannya. Semoga sedikit ilmu yang saya peroleh dapat bermanfaat dan mudah dipahami. Saya memang bukan orang yang pintar atau cerdas atau bahkan waaah ataupun luar biasa, tapi saya tahu ukuran kancing yang pas untuk baju saya

Sabtu, 25 Mei 2013

hibah hadiah dan sodaqoh

makalah fiqh muamalah : hibah hadiah dan shodaqoh Kata Pengantar Puji syukur penulis panjatkan ke khadirat Allah SWT, berkat kenikmatan, petunjuk dan Rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul ” Hibah, Hadiah dan Shodaqah” Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada guru peradaban dan uswah hasanah kita Nabi Muhammad SAW. pada keluarganya, Shahabat sampai pada kita selaku pengikut-Nya yang senantiasa mengikuti Risalah-risalah-Nya Penulis menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan yang diakibatkan masih adanya keterbatasan dari segi ilmu pengetahuan yang di miliki tetapi ini menjadi motivasi penulis bahwa dalam hal ini menjadi pelajaran yang sangat berharga untuk meningkatkannya di kemudian hari, oleh karena itu kritik dan saran untuk membangun sekiranya sangat diperlukan untuk perbaikan dan pembelajaran dimasa yang akan datang. Garut, Oktober 2011 Penulis DAFTAR ISI Kata Pengantar………………………………………………………………….. i Daftar Isi………………………………………………………………………... ii BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……………………………………………….. 1 B. Batasan Masalah………………………………………………………... 1 C. Tujuan Masalah………………………………………………………… 1 BAB 2 PEMBAHASAN A. Hibah……………………………………………………………............ 2 1. Pengertian………………………………………………………....... 2 2. Rukun dan Syarat hibah……………………………………………. 2 3. Macam-macam Hibah……………………………………………… 3 4. Mencabut Hibah……………………………………………………. 3 5. Hukum Hibah………………………………………………………. 4 6. Hikmah Hibah………………………………………………………. 4 B. Hadiah………………………………………………………………….. 4 1. Pengertian……………………………………………………………. 4 2. Syarat dan Rukun hadiah……………………………………………. 5 3. Hukum Hadiah………………………………………………………. 6 4. Hikmah Hadiah………………………………………………… C. Shodaqoh……………………………………………………………… 6 1. Pengertian …………………………………………………………… 6 2. Hukum Shodaqoh…………………………………………………… 7 3. Syarat dan Rukun Shodaqoh………………………………………... 7 4. Hikmah Shodaqoh…………………………………………………… 8 5. Perbedaan Shodaqoh dan Hadiah…………………………………… 9 D. Perbedaan dan persamaan hibah, hadiah dan shodaqoh………………… 9 BAB 3 PENUTUP………………………………………………………………. 10 A. Kesimpulan……………………………………………………………… 10 B. Saran…………………………………………………………………….. 10 DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………… 11 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Islam merupakan agama yang terpuji. Beberapa contohnya adalah memberikan hibah, hadiah, dan shodaqoh. Yang mana dalam sebuah hadits disebutkan bahwa “ semua amal perbuatan manusia di dunia ini akan putus segala amal perbuatannya, kecuali 3 perkara yaitu anak yang sholeh yang selalu mendo’akan orang tuanya, ilmu yang bermanfaat dan shodaqoh jariah. Dalam penulisan makalah kali ini kami selaku pemakalah akan membahas tentang hibah, hadiah dan shodaqoh. Yang mana penjelasan yang lebih rinci akan dipaparkan di bab selanjutnya. B. Batasan Masalah Batasan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut: 1. Apa yang dimaksud dengan hibah, hadiah, dan shodaqoh ? 2. Apa saja yang termasuk syarat dan rukun hibah, hadiah, dan shodaqoh ? 3. Bagaimana ketentuan-ketentuannya, dan apa saja hikmahnya ? 4. Apa perbedaan dan persamaan antara hibah, hadiah, dan shodaqoh ? C. Tujuan Masalah Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk : • Untuk mengetahui pengertian-pengertian hibah, hadiah, dan shodaqoh. • Untuk mengetahui syarat dan rukun hibah, hadiah, dan shodaqoh. • Untuk mengetahui ketentuan-ketentuan hibah, hadiah, dan shodaqoh. • Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan antara hibah, hadiah, dan shodaqoh. • BAB 2 PEMBAHASAN A. HIBAH 1. Pengertian Hibah adalah akad pemberian harta milik seseorang kepada orang lain diwaktu ia hidup tanpa adanya imbalan sebagai tanda kasih sayang. Firman Allah SWT. : وَأَتَىالْمَالَ عَلَىحُبِّهِ ذَوِىالْقُرْبَىوَالْيَتَمَىوَالْمَسَاكِيْنِ وَابْنَ السَّبِيْلِ وَالسَّائِلِيْنَ وَفِىالرِّقَابِ “Dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta dan (memerdekakan) hamba sahaya” (QS. Al Baqarah : 177). Memberikan Sesutu kepada orang lain, asal barang atau harta itu halal termasuk perbuatan terpuji dan mendapat pahala dari Allah SWT. Untuk itu hibah hukumnya mubah. Sabda Nabi SAW. : “Dari Khalid bin Adi, sesungguhnya Nabi Muhammad SAW. telah bersabda, : “Barang siapa yang diberi oleh saudaranya kebaikan dengan tidak berlebih-lebihan dan tidak ia minta, hendaklah diterima (jangan ditolak). Sesungguhnya yang demikian itu pemberian yangdiberikan Allah kepadanya” (HR. Ahmad). Hibah adalah Pemberian harta dari seseorang kepada oraglain sengan alih pemilikan untuk dimanfaatkan sesuai kegunaannya dan langsung pindah pemilikannya saat ahad hibah dinyatakan. 2. Rukun dan Syarat Hibah a. Pemberi Hibah (Wahib) Syarat-syarat pemberi hibah (wahib) adalah sudah baligh, dilakukan atas dasar kemauan sendiri, dibenarkan melakukan tindakan hukum dan orang yang berhak memiliki barang. b. Penerima Hibah (Mauhub Lahu) Syarat-syarat penerima hibah (mauhub lahu), diantaranya : Hendaknya penerima hibah itu terbukti adanya pada waktu dilakukan hibah. Apabila tidak ada secara nyata atau hanya ada atas dasar perkiraan, seperti janin yang masih dalam kandungan ibunya maka ia tidak sah dilakukan hibah kepadanya. c. Barang yang dihibahkan (Mauhub) Syarat-syarat barang yang dihibahkan (Mauhub), diantaranya : jelas terlihat wujudnya, barang yang dihibahkan memiliki nilai atau harga, betul-betul milik pemberi hibah dan dapat dipindahkan status kepemilikannya dari tangan pemberi hibah kepada penerima hibah. d. Akad (Ijab dan Qabul), misalnya si penerima menyatakan “saya hibahkan atau kuberikan tanah ini kepadamu”, si penerima menjawab, “ya saya terima pemberian saudara”. 3. Macam-macam Hibah Hibah dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu : 1. Hibah barang adalah memberikan harta atau barang kepada pihak lain yang mencakup materi dan nilai manfaat harta atau barang tersebut, yang pemberiannya tanpa ada tendensi (harapan) apapun. Misalnya menghibahkan rumah, sepeda motor, baju dan sebagainya. 2. Hibah manfaat, yaitu memberikan harta kepada pihak lain agar dimanfaatkan harta atau barang yang dihibahkan itu, namun materi harta atau barang itu tetap menjadi milik pemberi hibah. Dengan kata lain, dalam hibah manfaat itu si penerima hibah hanya memiliki hak guna atau hak pakai saja. Hibah manfaat terdiri dari hibah berwaktu (hibah muajjalah) dan hibah seumur hidup (al-amri). Hibah muajjalah dapat juga dikategorikan pinjaman (ariyah) karena setelah lewat jangka waktu tertentu, barang yang dihibahkan manfaatnya harus dikembalikan. 4. Mencabut Hibah Jumhur ulama berpendapat bahwa mencabut hibah itu hukumnya haram, kecualii hibah orang tua terhadap anaknya, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW. : لاَيَحِلُّ لِرَجُلٍ مُسْلِمٍ أَنْ يُعْطِىعَطِيَّةًأَوْيَهَبَ هِبَةً فَيَرْجِعُ فِيْهَا إِلاَّالْوَالِدِفِيْمَايُعْطِىلِوَلَدِهِ “Tidak halal seorang muslim memberikan suatu barang kemudian ia tarik kembali, kecuali seorang bapak kepada anaknya” (HR. Abu Dawud). Sabda Rasulullah SAW. : “Orang yang menarik kembali hibahnya sebagaimana anjing yang muntah lalu dimakannya kembali muntahnya itu” (HR. Bukhari Muslim). Hibah yang dapat dicabut, diantaranya sebagai berikut : 1. Hibahnya orang tua (bapak) terhadap anaknya, karena bapak melihat bahwa mencabut itu demi menjaga kemaslahatan anaknya. 2. Bila dirasakan ada unsur ketidak adilan diantara anak-anaknya, yang menerima hibah.. 3. Apabila dengan adanya hibah itu ada kemungkinan menimbulkan iri hati dan fitnah dari pihak lain. 5. Hukum hibah Pada dasarnya memberikan sesuatu kepada oranglain hukumnya adalah mubah(jaiz).Dalam hukum asal mubah tersebut hukum hibah dapat menjadi wajib,haram dan makruh. a. Wajib. Hibah yang diberikan kepada istri dan anak hukumnya wajib sesuai dengan kemampuannya. Rosululloh saw bersabda: Bertaqwalah kalian kepada Allah dan adillah terhadap anak anak kalian. b. Haram Hibah menjadi haram hukumnya apabila harta yang telah dihibahkan ditarik kembali. c. Makruh Menghibahkan sesuatu dengan maksud mendapatkan imbalan sesuatu baik berimbang maupun lebih banyak hukumnya adalah makhruh. 6. Hikmah Hibah Adapun hikmah hibah adalah : 1. Menumbuhkan rasa kasih sayang kepada sesama 2. Menumbuhkan sikap saling tolong menolong 3. Dapat mempererat tali silaturahmi 4. Menghindarkan diri dari berbagai malapetaka. B. Hadiah 1. Pengertian Hadiah Hadiah (hadiyyah) berasal dari kata hadâ wa ahdâ. Bentuk pluralnya hadâyâ atauhadâwâ menurut bahasa penduduk Madinah. Hadiah secara bahasa berarti sesuatu yang Anda berikan (mâ athafa bihi).1 Pengertian ini belum cukup karena tidak semua pemberian merupakan hadiah. Pemberian itu bisa berupa sedekah, wakaf, hibah, pinjaman ataupun wasiat. Secara istilah, dalam al-Qâmûs al-Fiqhî dinyatakan, menurut ulama Syafiiyah, Hanabilah, Hanafiyah dan Malikiyah, hadiah adalah tamlîku ’ayn bi lâ ’iwadh ikrâm[an] ilâ al-muhdâ ilayh (pemindahan pemilikan suatu harta tanpa kompensasi sebagai penghormatan kepada orang yang diberi hadiah).2 Dalam Mu’jam Lughah al-Fukahâ’, hadiah adalah al-’athiyah bi lâ ’iwadh ikrâman (pemberian tanpa kompensasi sebagai suatu penghormatan). Hadiah juga bermakna i’thâ’ syay’[in] bighayr ‘iwadh shilat[an] wa taqarrub[an] wa ikrâm[an] (pemberian sesuatu tanpa kompensasi karena adanya hubungan, untuk menjalin kedekatan dan sebagai bentuk penghormatan). Hadiah adalah pemberian sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk mmnuliakan atau memberikan penghargaan. Rasulullah SAW menganjurkan kepada umatnya agar saling memberikan hadiah. Karena yang demikian itu dapat menumbuhkan kecintaan dan saling menghormati antara sesama. Rasulullah SAW bersabda : Artinya : "Hendaklah kalian saling memberikan hadiah, niscaya kalian akan saling menyayangi " ( HR Abu Ya'la ) Yang jelas, hadiah merupakan pemindahan pemilikan atas suatu harta dan bukan hanya manfaatnya. Kalau yang diberikan adalah manfaatnya sementara zatnya tidak maka itu merupakan pinjaman (i’ârah). Karenanya hadiah haruslah merupakan tamlîkan li al-’ayn (pemindahan/penyerahan pemilikan atas suatu harta kepada pihak lain). Penyerahan pemilikan itu harus dilakukan semasa masih hidup karena jika sesudah mati maka merupakan wasiat. Di samping itu penyerahan pemilikan yang merupakan hadiah itu harus tanpa kompensasi (tamlîkan li al-’ayn bi lâ ’iwadh), karena jika dengan kompensasi maka bukan hadiah melainkan jual-beli (al-bay’). 2. Syarat-syarat dan Rukun Hadiah 1. Orang yang memberikan hadiah itu sehat akalnya dan tidak dibawah perwalian orang lain. Hadiah orang gila, anak-anak dan orang yang kurang sehat jiwanya (seperti pemboros) tidak sah shadaqah dan hadiahnya. 2. Penerima haruslah orang yang benar-benar memerlukan karena keadaannya yang terlantar. 3. Penerima shadaqah atau hadiah haruslah orang yang berhak memiliki, jadi shadaqah atau hadiah kepada anak yang masih dalam kandungan tidak sah. 4. Barang yang dishadaqahkan atau dihadiahkan harus bermanfaat bagi penerimanya. Rukun Shadaqah dan Hadiah a. Orang yang memberi, syaratnya orang yang memiliki benda itu dan yang berhak mentasyarrufkannya b. Orang yang diberi, syaratnya orang yang berhak memiliki . c. Ijab dan qabul d. Barang yang diberikan, syaratnya barangnya dapat dijual 3. Hukum Memberi Hadiah Memberi hadiah hukumnya sunnah. Abu Hurairah berkata, Nabi saw. bersabda: 4. تَهَادَوْا تَحَبُّوْا Saling memberi hadiahlah kalian niscaya kalian saling mencintai (HR al-Bukhari, al-Baihaqi dan Abu Ya‘la).5 Bahkan Nabi saw. mendorong untuk memberi hadiah meski nilainya secara nominal kecil: 5. يَا نِسَاءَ الْمُسْلِمَاتِ لاَ تَحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ Hai para Muslimah, janganlah seorang wanita merasa hina (memberi hadiah) kapada wanita tetangganya meski hanya tungkai (kuku) kambing . 4.Hikmah Hadiah 1). Menjadi unsur bagi suburnya kasih sayang 2). Menghilangkan tipu daya dan sifat kedengkian. Sabda Nabi Muhammad SAW. : “Saling hadiah-menghadiahkan kamu, karena dapat menghilangkan tipu daya dan kedengkian” (HR. Abu Ya’la). “Hendaklah kamu saling memberi hadiah, karena ia akan mewariskan kecintaan dan menghilangkan kedengkian-kedengkian” (HR. Dailami). C. Shadaqah 1. Pengertian Shadaqah Shadaqah ialah pemberian sesuatu kepada seseorang yang membutuhkan, dengan mengharap ridha Allah semata. Dalam kehidupan sehari-hari biasa disebut sedekah. Bershadaqah haruslah dengan niat yang ikhlas, jangan ada niat ingin dipuji atau dianggap dermawan dan jangan menyebut-nyebut shadaqah yang sudah dikeluarkan apalagi menyakiti hati si penerima. Sebab yang demikian itu dapat menghapuskan pahala shadaqah. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 264 yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) shadaqahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima) seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia" 2. Hukum Shodaqoh Hukum shadaqah ialah sunnat : hal ini sesuai dengan perintah Allah SWT, sebagai berikut : Artinya : "Dan bersedekahlah kepada Kami, sesungguhnya Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang bersedekah" (Yusuf : 88) Shadaqah merupakan salah satu amal shaleh yang tidak akan terputus pahalanya, seperti sabda Rasulullah SAW: Artinya : "Apabila seseorang telah meninggal dunia, maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga perkara, shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shaleh yang selalu mendo'akan kedua orang tuanya". (HR. Muslim) Pemberian shadaqah kepada perorangan lebih utama kepada orang yang terdekat dahulu, yakni sanak famili dan keluarga, anak-anak yatim tetangga terdekat, teman sejawat, dan seterusnya. Shadaqah itu tidak hanya dalam bentuk materi, tetapi juga dalam bentuk tindakan seperti senyum kepada orang lain termasuk shadaqah. Hal ini sesuai dengan Sabda Rasulullah SAW. : تَبَسُّمُكَ فِىوَجْهِ أَخِيْكَ لَكَ صَدَقَةٌ (رواهالبخارى) “Tersenyum dihadapan temanmu itu adalah bagian dari shadaqah” (HR. Bukhari). 3. Syarat-syarat dan Rukun Shadaqah 1. Orang yang memberikan shadaqah itu sehat akalnya dan tidak dibawah perwalian orang lain. Hadiah orang gila, anak-anak dan orang yang kurang sehat jiwanya (seperti pemboros) tidak sah shadaqah dan hadiahnya. 2. Penerima haruslah orang yang benar-benar memerlukan karena keadaannya yang terlantar. 3. Penerima shadaqah haruslah orang yang berhak memiliki, jadi shadaqah atau hadiah kepada anak yang masih dalam kandungan tidak sah. Barang yang dishadaqahkan harus bermanfaat bagi penerimanya Rukun Shadaqah Rukun shadaqah dan syaratnya masing-masing adalah sebagai berikut : a. Orang yang memberi, syaratnya orang yang memiliki benda itu dan berhak untuk mentasharrufkan ( memperedarkannya ) b. Orang yang diberi, syaratnya berhak memiliki. Dengan demikian tidak syah memberi kepada.anak yang masih dalam kandungan ibunya atau memberi kepada binatang, karena keduanya tidak berhak memiliki sesuatu c. Ijab dan qabul, ijab ialah pernyataan pemberian dari orang yang memberi sedangkan qabul ialah pernyataan penerimaan dari orang yang menerima pemberian . d. Barang yang diberikan, syaratnya barang yang dapat dijual Perbedaan shadaqah dan infak, bahwa shadaqah lebih bersifat umum dan luas, sedangkan infak adalah pemberian yang dikeluarkan pad a waktu menerima rizki atau karunia Allah. Namun keduanya memiliki kesamaan, yakni tidak menentukan kadar, jenis, maupun jumlah, dan diberikan dengan mengharap ridha Allah semata. Karena istilah shadaqah dan infak sedikit sekali perbedaannya, maka umat Islam lebih cenderung menganggapnya sama, sehingga biasanya ditulis infaq I shadaqah. Bershadaqah haruslah dengan niat yang ikhlas, jangan ada niat ingin dipuji (riya) atau dianggap dermawan, dan jangan menyebut-nyebut shadaqah yang sudah dikeluarkan, apalagi menyakiti hati si penerima. Sebab yang demikian itu dapat menghapuskan pahala shadaqah. Allah berfirman dalam surat AI Baqarah ayat 264 : Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan ( paha/a) shadaqahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti ( perasaan di penerima ), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia ..." (QS. AI Baqarah : 264) 4. Hikmah Shadaqah 1). Menumbuhkan ukhuwah Islamiyah 2). Dapat menghindarkan dari berbagai bencana 3). Akan dicintai Allah SWT. 5. Perbedaan antara Shadaqah dan Hadiah 1. Shadaqah ditujukan kepada orang terlantar, sedangkan hadiah ditujukan kepada orang yang berprestasi. 2. Shadaqah untuk membantu orang-orang terlantar memenuhi kebutuhan pokoknya, sedangkan hadiah adalah sebagai kenang-kenangan dan penghargaan kepada orang yang dihormati. 3. Shadaqah adalah wajib dikeluarkan jika keadaan menghendaki sedangkan hadiah hukumnya mubah (boleh). D. Persamaan,perbedaan dan manfaat sedekah,hibah dan hadiah. a. Persamaan. -Sedekah,hibah,dan hadiah merupakan wujud kedermawaan yang dimiliki seseorang atau suatu kelompok dalam organisasi. -Ketiganya diberikan secara cumu cuma tanpa mengharapkan pemberian kembali dalam bentuk dan wujud apapun. b. Perbedaan 1.Sedekah dan hibah diberikan kepada seseorang karena rasa iba,kasih sayang,atau ingin mempererat persaudaraan. 2. Hadiah diberikan kepada seseorang sebagai imbalan jasa atau penghargaan atas prestasi yang dicapai. BAB 3 PENUTUP a. Kesimpulan Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan hibah adalah memberikan sesuatu kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan, sedangkan hadiah adalah memberikan sesuatu kepada orang lain dengan maksud untuk memuliakan, dan yang dimaksud dengan shodaqoh adalah memberikan sesuatu kepada orang lain dengan maksud untuk mengharapkan ridho Alloh SWT semata. Baik hibah, hadiah maupun shodaqoh memiliki syarat, rukun dan ketentuannya masing-masing. Meski demikian ke - tiganya memiliki persamaan yang jelas sekali yaitu sama-sama memberikan sesuatu sebagai wujud kedermawanannya kepada seseorang, dan juga ke – tiganya memiliki perbedaan yaitu dari segi maksudnya saja. b. Saran Kita selaku umat muslim disunatkan untuk saling memberi. Yang mana sudah dijelaskan di atas bahwa amal manusia akan terputus amalnya kecuali 3 perkara, diantara adalah shodaqoh jariah. Kami menyarankan agar kita senantiasa untuk saling memberi, baik berupa uang, barang, ataupun jasa. Yang mana nantinya akal menjadi bekal di akhirat nanti.  Daftar Pustaka